Pengemis dan Shalawat Badar
![]() |
Sumber gambar : goodreads |
Bus yang aku tumpangi masuk
terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari
ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya.
Untung bus tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak perlu bersinggungan
badan. Namun dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang
dialirkan dengan kipas koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok
dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk.
Begitu bus berhenti, puluhan
pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah
membajing loncat ketika bus masih berada di mulut termi-nal. Bus menjadi pasar
yang sangat hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir
melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan
dengan suara melengking agar bisa mengatasi derum mesin. Mereka
menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para
penumpang. Kemudian mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau
berbelanja. Seorang di antara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para
penumpang adalah manusia-manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya
duit.
Suasana sungguh gerah,
sangat bising dan para penum-pang tak berdaya melawan keadaan yang sangat
menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu;
hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan
perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu
kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau
dengan seorang perempuan penjual buah.
Sementara para penumpang
lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain.
Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti
itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan
karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak
tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya
dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu,
tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah
mengantuk sambil mengepulkan asap di belakangku itu.
Masih banyak hal yang belum
sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan
kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu
engucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar
dalam suara yang bening. Dan tangannya menengadah. Lelaki itu mengemis. Aku
membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan
baik-baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu
terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan
kudengar sendiri ada lelaki membaca shalawat badar untuk mengemis.
Kukira pengemis itu sering
mendatangi pengajian-penga-jian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah
tentang kebaikan hidup baik dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti
itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu
adalah Shala-wat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan
tangan. Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti
bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap
ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka
tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena
ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu.
Di sana aku lihat kebodohan,
kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu
sa-ngat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali
dengan Shalawat Badar. Ya. Jejakjejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang
kebaikan hidup ada berbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari
pengajian yang sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan
kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang
salah” Sayangnya, aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca
shalawat itu.
Perhatianku terhadap si
pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah
duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berte-riak kepada sopir.
Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin disel yang meraung-raung. Kudengar kedua
awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak
penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata
tak kunjung datang. Mereka terus bertengkar melalui kata-kata yang tak sedap
didengar. Dan bus terus melaju meninggalkan terminal Cirebon.
Sopir yang marah menjalankan
busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak
tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang
jongkok dekat pintu belakang.
“He, sira! Kenapa kamu tidak
turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang
ke laut dijadikan rumpon?” Pengemis itu diam saja.
“Turun!”
“Sira beli mikir! Bus cepat
seperti ini aku harus turun?”
“Tadi siapa suruh kamu
naik?”
“Saya naik sendiri. Tapi
saya tidak ingin ikut. Saya cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti.
Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”
Kondektur kehabisan
kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat.
Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal
tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu
sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki
posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam: “… shalatullah,
salamullah, ‘ala thaha rasulillah….”
Shalawat itu terus mengalun
dan terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang
membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga
lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin
diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan
orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu
memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik
dalam bus yang kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku
berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna
karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia
maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh
hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan.
Kukira aku masih dalam mimpi
ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar guntur meledak
de-ngan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di
sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa di antaranya kelihatan
sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu
tersandung dan aku jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata
ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba,
cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka
parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah
terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling
sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba
bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali.
Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu
samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak
tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali ke arah kota
Cirebon.
Telingaku dengan gamblang
mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang ke arah timur itu:
“shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”
Cerpen di bawah ini
merupakan salah satu cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen “Senyum
Karyamin” karya Ahmad Tohari
Post a Comment