Kumpulan Puisi Amir Hamzah

Berkas:Amir Hamzah portrait edit.jpg

Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun. Beliau adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia.
 
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja: meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa. Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Berikut puisi-puisi karya beliau.
 

“Sebab Dikau”:


Kasihkan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
 
Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar
 
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra
 
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
 
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak. 
 

Di Tepi Pantai

Ombak berderai di tepi pantai,
Angin berembus lemah-lembut.
Puncak kelapa melambai-lambai,
di ruang angkasa awan bertabut.
 
Burung terbang melayang-layang,
serunai berlagu alangkah terang.
Bersuka raya bersenang-senang,
lautan haru hijau terbentang.
 
Asap kapal bergumpal-gumpal,
melayari tasik, Jawa segara.
Duduklah beta berhati kesal,
melihat perahu menuju Samudera.
 
Pikiranku melayang entah ke mana,
sekali ke Timur sekali ke Utara.
Mataku memandang jauh ke sana,
lampaulah air dengan udara.
 
Pikiran nan lama datang kembali,
menggoda kalbu menyusahkan hati.
Mengingatkan untung tiada seperti,
ke manakah nasib membawa diri.
 
Ombak mengempas di atas batu,
bayu merayu menyeri-nyeri.
Riak riuhnya mendatangkan rindu,
terkenangkan tuan aduhai, puteri.
 
(Hamzah 1930)

Teluk Jayakatera

Ombak memecah di tepi pantai
angin berhembus lemah-lembut
Puncak kelapa melambai-lambai
di ruang angkasa awan bergelut.
 
Burung terbang melayang-layang
serunai berseru "adikku sayang"
perikan bernyanyi berimbang-imbang
laut harungan hijau terbentang.
 
Asap kapal bergumpal-gumpal
melayari tasik lautan Jawa
beta duduk berhati kesal
melihat perahu menuju Semudera.
 
Musyafir tinggal di tanah Jawa
seorang diri sebatang kara
hati susah tiada terkata
tidur sekali haram cendera.
 
Pikiranku melayang entah ke mana
sekali ke timur sekali ke utara
Mataku memandang jauh ke sana
di pertemuan air dengan angkasa.
 
di hadapanku hutan umurnya muda
tempat asyik bertemu mata
tempat ma'syuk melagukan cinta
tempat bibir menyatukan anggota.
 
Pikiran lampau datang kembali
menggoda kalbu menyusahkan hati
mengingatkan untung tiada seperti
Yayi lalu membawa diri.
 
Ombak mengempas ke atas batu
bayu merayu menjauhkan hati
gelak gadis membawaku rindu
terkenangkan tuan ayuhai yayi.
 
Teja ningsun buah hatiku
lihatlah limbur mengusap gelombang
ingatlah tuan masa dahulu
adik guring di pangkuan abang?
 
(Hamzah 1941)

Buah Rindu

Dikau sambur limbur pada senja
Dikau alkamar purnama raya
Asalkan kanda bergurau senda
Dengan adinda tajuk mahkota.
 
Di tuan rama – rama melayang
Di dinda dendang sayang
Asalkan kanda selang menyelang
Melihat adinda kekasih abang.
 
Ibu, seruku laksana pemburu
Memikat perkutut di pohon ru
Sepantun swara laguan rindu
Menangisi kelana berhati mutu
 
Kelana jauh duduk merantau
Dibalik gunumg dewala hijau
Diseberang laut cermin silau
Tanah jawa mahkota pulau…
 
Buah kenangku entah kemana
Lalu mengembara kesini sana
Haram berkata sepatah jua
Ia lalu meninggalkan beta.
 
Ibu lihatlah anakmu muda belia
Setiap waktu sepanjang masa
Duduk termenung berhati duka
Laksana Asmara kehilangan seroja.
 
Bunda waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh kembang cempaka
Adakah ibunda menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda ?
 
Wah kalau begini naga – naganya
Kayu basah dimakan api
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani.

Nyanyi Sunyi

Sunyi itu Duka
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
 
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
 
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
 
Di mana engkau
Rupatiada
Suara sayuo
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku ke dalam cakarmu
Bertukar tagkap dengan lepas
 
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
 
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mari hari-bukan kawanku
 
(Amir Hamzah, 1959:5)

INSYAF

Segala kupinta tiada kauberi
Segala kutanya tiada kausahuti
Butalah aku terdiri sendiri
Penuntun tiada memimpin jari
 
Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada
 
Buta tuli bisu kelu
Tertahan aku di muka dewala
Tertegun aku di jalan buntu
Tertebas putus sutera sempana
 
Besar benar salah arahku
Hampir tertahan tumpah berkahmu
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahasia jalan bertemu
 
Insyaf diriku dera durhaka
Gugur tersungkur merenang mata:
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu.

Berdiri Aku

Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
 
Angin pulang menyeduk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
 
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
dimabuk wama berarak-arak.
 
Dalam rupa maha sempuma
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.
Permainanmu
 
Kau keraskan kalbunya
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat
Ditunjang pengacara petah pasih
 
Di hadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular
Tangannya putih, putih penyakit
Kekayaanmu nyata, terlihat terang
 
Kekasihmu ditindasnya terus
Tangan,tapi tersembunyi
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat
 
Kau pukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada
Putera-mula peganti diri
Pergi kembali ke asal asli
 
Bertanya aku kekasihku
Permainan engkau permainkan
Kau tulis kau paparkan
Kau sampaikan dengan lisan
 
Bagaimana aku menimbang
Kau lipu lipatkan
Kau kelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu
 
Kau hamparkan badan
Di tubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka
 
Bagaimana aku menimbang
Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati.
 

Hanya Satu

Timbul niat dalam kalbumu
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
 
Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
 
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
 
Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
 
***
 
Bersemayam sempana di jemala gembala
Duriat jelita bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda .
 
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad.
 
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina.
 

Hanyut Aku

Hanyut aku, Kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tangan-Mu, tolong aku
Sunyinya sekelilingku!
 
Tiada suara kasihan,
Tiada angin mendingin hati,
Tiada air menolak ngelak,
Dahagakan kasihMu,
Hauskan bisikMu,
Mati aku disebabkan diamMu.
 
Langit menyerkap,
Air berlepas tangan, aku tenggelam.
 
Tenggelam dalam malam
Air di atas menindih keras
Bumi di bawah menolak ke atas
Mati aku, Kekasihku, mati aku!